Batubara-sinyal.co | Soal ketimpangan kebijakan laut sejatinya akan berdampak terhadap nasib dan masa depan nelayan, kata Ketua Umum DPP Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), Laksamana TNI (Purn) Sumardjono, dalam wawancara khusus dengan Bertuahpos, di kutip sinyal.co sabtu, 12 Juli 2025.
Dia menyoroti berbagai persoalan kompleks yang di hadapi nelayan Indonesia saat ini, termasuk di Provinsi Riau.
Menurutnya, kebijakan kelautan nasional saat ini masih belum berpihak pada realitas hidup nelayan dan kerap mengabaikan karakteristik sosial-budaya di setiap daerah.
“Setiap wilayah perairan di Indonesia punya karakter dan budaya yang berbeda. Tidak bisa di samakan begitu saja. Kapal saja membawa budaya masing-masing”. ujar Sumardjono.
Dia pernah menangkap 56 kapal ilegal ikan asal Thailand yang membawa hampir 1.300 anak buah kapal. Meskipun kapal-kapal tersebut akhirnya di sita dan di serahkan ke daerah, tidak ada yang mampu mengoperasikannya karena perbedaan budaya dan teknologi.
Sumardjono mengatakan rendahnya penggunaan teknologi di kalangan nelayan lokal sebagai faktor utama ketimpangan daya saing dengan nelayan asing.
“Nelayan kita masih mewarisi kebiasaan lama. Kalau bapaknya tidak pakai teknologi, anaknya juga begitu. Ini yang sedang kita dorong untuk berubah”. jelasnya.
Dia mendorong program sertifikasi nelayan sebagai jalan keluar. Sertifikasi ini mencakup navigasi, teknik penangkapan ikan, dan standar kualitas tangkapan agar bisa menembus pasar ekspor.
“Kadang satu kapal dapat 30 ton, tapi hanya 10% yang layak ekspor karena salah tangkap atau tidak sesuai standar”. katanya.
Lebih jauh, Sumardjono menyoroti praktik curang di sejumlah daerah, seperti sistem “bon ikan” di Rokan Hilir. Dalam sistem ini, hasil tangkapan nelayan di catat namun tidak langsung di bayar. Pembayaran di tunda hingga ikan laku terjual, yang kerap di manipulasi oleh tengkulak untuk menurunkan harga.
“Ini jahat. Nelayan sudah ke laut berbulan-bulan, pulang-pulang tidak bawa uang karena di kompensasi utang dan harga di tekan. Pemerintah daerah harus membasmi praktik semacam ini”. tegasnya.
Dia juga menyebut struktur nelayan Indonesia sangat timpang dari trader (eksportir), juragan (pemilik kapal), nakhoda, hingga buruh nelayan. Buruh kerap menjadi pihak paling di rugikan dalam sistem ini.
Sementara soal pengawasan laut, Sumardjono mengatakan pentingnya teknologi Vessel Monitoring System (VMS). Namun, harganya sangat mahal dan sulit di akses oleh nelayan kecil. Padahal, tanpa alat ini, banyak nelayan Indonesia tersesat dan masuk ke perairan negara lain, lalu di tuduh mencuri ikan.
“VMS itu penting, tapi bagaimana bisa di beli kalau harga solar saja sudah memberatkan? Pemerintah harus subsidi atau fasilitasi. Jangan malah menyalahkan nelayan terus”. ujarnya.
Sumardjono juga mengkritik keras kebijakan otonomi daerah di laut yang di samakan dengan darat. Menurutnya, laut bersifat menyambung secara global dan tak bisa di pagari berdasarkan batas-batas administratif.
Menurutnya, pemerintah masih di anggap abai dalam perencanaan anggaran kelautan, yang hingga saat ini masih belum maksimal. Dia menekankan pentingnya pengajuan bantuan pendidikan, pelatihan, dan pembiayaan kepada pemerintah pusat sejak jauh hari.
“Kalau mau bantu nelayan, jangan cuma subsidi BBM. Sekolahkan anak nelayan sampai kuliah. Itu bentuk kesejahteraan nyata”. ucapnya.
Dia berharap agar pemerintah pusat dan daerah mengalokasikan beasiswa khusus bagi anak nelayan melalui berbagai kementerian dan lembaga pendidikan. “Kalau anak nelayan bisa naik kelas jadi juragan, itu keberhasilan. Jangan terus-menerus jadi buruh laut,” katanya. (M)